Assalamu'alaikum wr.wb.

Salam Rimba & Lestari

Pecinta Alam : Benarkah Mencintai Alam

Pencinta Alam, seringkali diidentifikasikan sebagai kegiatan yang berhubungan dengan alam. Menjelajah gunung, menyusuri gua, mengarungi keajaiban dasar samudera, merambah belantara nan sunyi dan sederet kegiatan ‘alam’ lainnya.

Tentang pencinta sendiri di negeri kita, seringkali kegiatan yang dilakukan hanya sebatas sloganisasi belaka, sebatas mereka menikmati alam untuk diri sendiri, sebatas mencari kepuasan untuk kepentingan pribadi. Pencinta Alam ( baca: mereka yang menamakan diri sebagai Pencinta Alam) sering kali melakukan banyak aktivitas yang justru mengganggu keseimbangan alam. Menjelajah gunung dan membuat jejak-jejak disana, mencoret batu-batu di puncak, membuang sampah non organik ke sembarang tempat, membuat api unggun yang seringkali lupa dimatikan, memetik Edelweiss hingga beratus-ratus tangkai….

Saat masih sekolah dulu, pernah juga terlibat dalam kegiatan yang menamakan diri sebagai “Pencinta Alam”. Jujur, kala itu orientasi saya hanya mencari background yang bagus untuk foto-foto saya. Rasanya bangga sekali bila berhasil “menaklukan” puncak-puncak tertinggi. Memang, rasanya damai sekali di tengah kesunyian alam, menikmati keindahan kota nun jauh disana yang tertutup sebagian kabut, menyaksikan keajaiban sunrise dan sunset kala cuaca bersahabat. Dengan apapun, itu tak akan pernah bisa tergantikan.

Hanya saja, yang sering mengganggu saya, seringkali di perjalanan menuju puncak banyak sampah berserakan. Tentunya, ini adalah sampah yang dibawa oleh para pendaki karena sebagian besar makanan yang dibawa khas sekali. Sampai di puncak? Wah… lebih ngeri lagi. Bebatuan yang semestinya terlihat asri dan indah penuh coretan. Untuk apa? Sialnya coretan-coretan itu seringkali membawa nama sekolah, nama kampus yang notabene lebih ‘terpelajar’ dari pada para pendaki liar.

Saya pernah merasa malu sekali ketika dalam sebuah pendakian kami secara kebetulan berpapasan dengan pendaki dari mancanegara. Dengan sebuah kantong besar, mereka menuruni gunung sambil memunguti aneka macam sampah yang terserak. Wah, rasanya kami tak punya muka lagi untuk menatap mereka. Tentu, bukan karena sampah yang mereka pungut adalah sampah kami, melainkan karena kepedulian mereka akan alam. Sementara, para pendaki lokal yang (seharusnya) memiliki kesadaran lebih, justru mengabaikannya.

Sebuah organisasi Pencinta Alam (yang biasanya ngetren di kalangan mahasiswa) seharusnya bukan sekadar sebuah tempat bernaung bagi mereka yang senang bertualang saja atau menghabiskan anggaran dana di kampus. Ironis membayangkan mereka melakukan pendakian besar-besaran yang menelan biaya tinggi sampai ke luar negeri, sementara, di negeri sendiri, negeri yang (seharusnya) elok dan kaya akan hutan tropis perlahan mulai kehilangan identitasnya. Pencurian kayu, pembabatan hutan secara liar luput dari penyelamatan sang ‘pencinta alam’ Pencinta Alam.

Dalam konteks bahasa adalah seseorang yang sangat mencintai alam. Mencintai berarti melakukan banyak hal untuk sesuatu/seseorang yang dicintai. Mencoba membahagiakan sesuatu/seseorang yang kita cintai dengan tulus. Melakukan banyak hal agar sesuatu/seseorang yang dicintai merasa nyaman. Mencintai itu tanpa sederet syarat apapun, Mencintai itu sesuatu yang tulus, tanpa pamrih. Mencintai Alam, sama halya dengan melakukan banyak hal untuk alam, tanpa syarat-syarat khusus, tanpa dibarengi rasa keegoisan untuk memiliki alam secara individual, tanpa mengabaikan apa yang sebetulnya dibutuhkan oleh alam. Semua harus dilakukan tanpa pamrih, pamrih untuk dimunculkan di media massa, tanpa pamrih di puji banyak pihak, tanpa pamrih untuk mendapat dukungan dana berlebih yang pada akhirnya digunakan entah kemana. Mencintai alam, mencintai wujud ciptan-Nya, mengasihi setiap apa yang ada di dalamnya. Memulai dari hal kecil di sekitar kita. Meski kecil, andai setiap orang melakukannya pasti hasilnya menjadi lebih berarti.

Wallaikumsallam wr.wb.

Salam Lestari


Owner GEMPA

Sony Kuspriyanto

Yudha Sukmana





Rabu, 18 Agustus 2010

Pengetahuan

Gunung Argopuro atau Argopura (3.088 m.dpl), termasuk jenis gunung yang mempunyai banyak puncak, terdapat ± 14 puncak di jajaran Pegunungan Iyang. Terletak di Kabupaten Probolinggo Jawa Timur dan berada dalam pengawasan Sub BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) wilayah Jember. Gunung Argopuro merupakan gunung yang mempunyai jalur pendakian terpanjang diantara jalur gunung-gunung di Pulau Jawa lainnya. Memiliki peninggalan bersejarah dari Zaman Prasejarah hingga masa pendudukan Jepang.

Jalur Pendakian

Jalur pendakian menuju Gunung Argopuro terdapat 2 jalur utama yang umum dipakai oleh para pendaki, yang pertama adalah lewat Baderan, Besuki atau lewat Desa Bremi, Probolinggo. Tapi umumnya para pendaki menggunakan Jalur Bremi, Probolinggo menuju Baderan Situbondo. Beberapa alasan adalah jalur tersebut lebih dekat menuju puncak, juga jika sekalian ingin melakukan pendakian Rally di sejumlah gunung-gunung yang berdekatan, biasa disebut Gorajen (Argopuro, Raung dan Ijen).
gunung argopuro
Perjalanan ke Gunung Argopuro ini rata-rata membutuhkan waktu kurang lebih 20 jam untuk naik dan 11 jam untuk turun, dengan demikian kita harus mendirikan tenda di perjalanan. Karena itu pakaian hangat dan perlengkapan tidur (sleeping bag, matras, tenda dsb.) serta perlengkapan masak adalah keharusan.

Jalur Bremi

Untuk mencapai Desa Bremi (960 m.dpl) sangat mudah karena ada bis umum yang menuju desa ini 2 (dua) kali sehari dari terminal bis Probolinggo lama, jam 06.00 pagi dan jam 12.00 siang, yang tarifnya Rp.3.500,- atau dari Terminal Bayuangga, Probolinggo naik bis atau minibus menuju Pajarakan dengan tarifnya Rp. 1500,-, karena disini ada minibus menuju Desa Bremi yang tarifnya Rp.3.500,-. Tetapi bila pergi berombongan, dari Terminal Bayuangga ada minibus yang dapat membawa kita langsung ke Bremi.
Sampai di Bremi, kita harus melapor pada petugas KSDA dan POLSEK Krucil di Bremi untuk meminta ijin melakukan pendakian dan usahakan pendakian kita lakukan pada pagi hari.
Di Bremi sebaiknya kita menginap untuk melanjutkan perjalanan pagi harinya. Di desa ini, terdapat penginapan relatif murah.Untuk menginap kita bisa menghubungi Pak Bawon atau masyarakat setempat tentang yang mengelola penginapan. Salah satunya adalah penginapan bekas peninggalan Belanda yang memiliki ciri bangunan yang khas.
Esok harinya kita berjalan menyusuri jalan berbatu, menuju Perkebunan “Air Dingin�, mendekati gerbang Perkebunan berbelok kekanan menuju Danau Taman Hidup (1.900 m.dpl). Perjalanan melewati hutan alam produksi dan hutan pinus dan kita akan menjumpai banyak tanjakan yang mempunyai kemiringan yang tinggi. Perjalanan membutuhkan waktu 4 jam pendakian kita akan sampai di Taman Hidup. Danau Taman Hidup merupakan sebuah danau yang sangat indah, disekelilingnya terdapat lereng-lereng gunung yang mempunyai vegetasi yang rapat. Keanekaragamam hewan air bisa kita jumpai serta binatang banyak berkeliaran.
Di sepanjang jalan, terutama di awal-awal perjalanan lewat jalur Bremi akan kita temui banyak lintah dan tumbuhan api-api di kanan-kiri. Jadi sebaiknya lindungi diri dengan baju lengan panjang dan pelindung kaki (gaiter).
Setelah berjalan 7 jam melalui perkebunan damar dan hutan tropis dari Bremi, kita akan sampai di Aeng Kenek. Sesampai di Aeng Kenek, kita menempuh perjalanan 1 jam lagi, dan kita sampai di Aeng Poteh atau Cisentor, yang merupakan persimpangan jalan menuju puncak dan ke arah Baderan.
Di Aeng poteh, terdapat air sungai yang mengalir jernih,yang bewarna keputih-putihan. Karena itulah tempat ini dinamakan Aeng Poteh (aeng = air, poteh = putih).
Di Aeng Poteh/persimpangan Cisentor, pada bulan-bulan tertentu seperti bulan September akan kita jumpai tikus-tikus hutan yang amat banyak dan hiperaktif. Tikus-tikus ini berani mendekati kita dan tak segan-segan untuk menggigit carrier untuk menda\npatkan makanan di dalamnya. Jadi pastikan bahwa carrier kita terlindungi dengan baik. Begitu juga dengan kerapatan pintu tenda, karena bukan tak mungkin tikus-tikus akan menyelinap masuk dan bermain-main di kontur wajah kita.
Setelah perjalanan sekitar 1 jam 45 menit menuju puncak, kita akan melewati Rawa Embik, dimana terdapat sungai yang merupakan tempat minum kambing-kambing gunung. Disepanjang perjalanan banyak tempat untuk mendirikan tenda, dan air tersedia cukup melimpah. Perlu 1 jam perjalanan lagi untuk mencapai Puncak Rengganis (2.920 m.dpl).
Di Gunung Argopuro, puncak yang sering dikunjungi adalah Puncak Rengganis, Puncak Argopuro (3.088 m.dpl) jarang dikunjungi karena jalannya tertutup hutan lebat. Di Puncak Rengganis ini pernah ditemukan arca Dewi Rengganis, yang menurut cerita adalah putri Raja Majapahit terakhir, Raden Brawijaya, yang melarikan diri dan menyepi di Gunung Argopuro. Di puncak ini masih ditemukan petilasan Candi yang telah runtuh.
Puncak Rengganis ini, merupakan bekas kawah belerang. Menurut kepercayaan setempat di Puncak Rengganis ini terdapat pusat kerajaan para lelembut (jin). Sehingga dari waktu kewaktu ada para pengunjung yang menaruh sesajian di Puncak Rengganis ini.

Jalur Baderan

Untuk capai Desa Baderan, dari Surabaya kita menuju Probolinggo dengan bis. Kemudian diteruskan menuju Banyuwangi turun di Besuki. Dari Besuki diteruskan menuju Besa Baderan (725 m.dpl), yang jaraknya 22 km dari Besuki, dengan menggunakan angkutan umum (Rp. 1500, siang).
Sebelum mendaki kita harus melapor pada petugas KSDA dan polisi setempat untuk meminta ijin dan menyiapkan air disini, karena air hanya akan kita jumpai di Sumber Air (5 jam perjalanan dari Baderan). Dari Baderan kita menuju Cemoro Panjang (2.141 m.dpl), selama 7 jam perjalanan, melewati Sumber Air (1.710 m.dpl). Hutan yang dilalui adalah hutan pinus dan hutan alam. Dari Cemoro Panjang kita menuju Alun-alun Kecil (2.040 m.dpl), kurang lebih 1 jam 15 menit, dan dilanjutkan menuju Alun-alun Besar atau yang lebih dikenal dengan Sikasur (2.500 m.dpl), selama 2 jam 45 menit.
Perjalanan 3 jam dari Cikasur kita sampai di Aeng Poteh atau persimpangan Cisentor, pertigaan Baderan - Puncak - Bremi. Turun dari puncak Argopuro, kita dapat memilih turun lewat Bremi selama 11 jam, atau kembali lewat Baderan selama 13 jam.
Sikasur, berupa padang rumput yang luas, sangat bagus untuk dijadikan camp, karena terdapat sungai kecil yang mengalir jernih dihiasi tumbuhan Selada air (penduduk setempat menyebutnya Arnong). Di Sikasur ini juga terdapat bekas lapangan terbang yang dibuat oleh A.J.M Ledeboer pada tahun 1940-an. Lapangan terbang tersebut, konon digunakan untuk kegiatan pembudidayaan rusa yang didatangkan dari luar, sisa-sisa populasi masih ada tetapi semakin berkurang.
Jika ingin mendaki Gunung Argopuro, terlebih dahulu kita harus meminta ijin ke BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Jawa Timur di Surabaya Atau bisa juga ke Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur II dengan alamat, Jl. Jawa 36, Jember 68101, telp. (0331) 85079. Di Bremi, kita harus melaporkan diri dulu di Pos Sub KSDA Pegunungan Yang Barat di Krucil, terletak 2 km sebelum Bremi.

Gunung Arjuno dan Gunung Welirang

puncak arjunoGunung Arjuno (3.339 m dpl) adalah gunung api tua dan sudah tidak aktif, Sedangkan Gunung Welirang (3.156 m dpl), masih ada aktifitas yang ditunjukkan dengan adanya kawah belerang. Gunung Arjuno dan Gunung Welirang terletak pada satu gunung yang sama dan terletak dalam satu rangkaian dengan Gunung Anjasmoro dan Gunung Ringgit. Pada lembah-lembah diantaranya, terutama di lereng Gunung Arjuno dan Ringgit, terdapat puluhan peninggalan purbakala yang berserakan dan belum ditangani secara tuntas. Sebagian tertutup semak-belukar.
Penemuan besar terakhir terjadi pada Juni 1988, yang meliputi bangunan persajian, batu perdupaan, bangunan berundak, arca batu, wadah batu dan gua pertapaan, yang dikerjakan sekitar tahun 1400-an. Hal ini ditunjukkan dengan angka tahun 1364 Saka atau 1442 Masehi yang terpahatkan di balok batu Candi Laras atau Candi Gambir di ketinggian kurang lebih 1400 m.dpl. Coordinates: 7°45''53"S 112°35''26"E
gunung  arjuno
Umumnya arca-arca yang tersebar di sekitar lereng hanya menggambarkan manusia biasa dan tidak mengikuti pedoman Ikonografi Hindu, dan tokoh-tokoh wayang tidak ditemukan di sini. Diperkirakan, peninggalan ini berasal dari jaman Majapahit, pada masa pemerintahan Prabu Sri Suhita (1429 - 1447),cucu dari Rajasanagara atau Bhre Hyang Wekasing Sukha Hayam Wuruk (1350 - 1389). Seni arsitekturnya memperlihatkan unsur lokal yang lebih dominan.
Puncak
Diduga, ada 2 alasan mengapa kompleks bangunan itu dibuat di pegunungan tinggi. Alasan pertama, karena berkaitan dengan kepercayaaan masyarakat setempat, dan kedua, karena terpengaruh konsep ajaran Hindu perihal persemayaman dewa-dewa di puncak gunung. Sejauh ini sudah didata 20 bangunan purbakala, tidak termasuk puluhan arca. Beberapa candi yang terkenal ialah Candi Indrokilo, Candi Manggung, Candi Sepilar dan Candi Lepek.

Jalur Pendakian

Gunung Arjuno, dapat didaki dari beberapa arah, yaitu arah Utara (Tretes) melalui Gunung Welirang, dari arah Timur (Lawang) dan dari arah Barat (Batu-Selecta).

Jalur Tretes-Welirang

Dari Surabaya kita naik bis jurusan Malang atau sebaliknya, turun di Pandaan dan ganti minibus ke jurusan Tretes. Tretes (860 m.dpl) ‘merupakan Tempat Wisata dan Hutan Wisata. Di situ juga terdapat dua air terjun yang indah, yaitu air terjun Kakek Bodo. Di Tretes banyak tersedia hotel maupun losmen, hawanya sejuk dan merupakan tempat peristirahatan yang nyaman.
welirang
Setelah mendaftar di Pos PHPA Tretes, yang terletak dibelakang Hotel Surya, kita dapat langsung mendaki Gunung Welirang dan juga Gunung Arjuno. Kita dapat menjumpai sungai kecil dipertengahan antara Tretes dan Pondok Welirang (terdapat Shelter). Setelah berjalan sekitar 4 - 5 jam ke arah barat daya dari Tretes, melewati hutan tropika Lali Jiwo, kita dapat berhenti dan bermalam di Pondok Welirang. Di tempat istirahat para penambang biji belerang ini, kita dapat mengambil air dan memasak atau mandi, karena air cukup melimpah. Hampir setiap hari sekitar 20 - 30 orang buruh mencari dan membawa batu belerang ke Tretes, yang merupakan pemandangan unik.
Besok paginya kita dapat mulai mendaki, dan kira-kira 45 menit perjalanan kita jumpai jalan bercabang, kekiri ke arah Gunung Arjuno, atau lurus langsung kearah ke puncak Gunung Welirang. Dari pondok sampai ke puncak Gunung Welirang ini kita melewati hutan Cemara dan kita akan kita akan sampai di puncak G. Welirang setelah perjalanan 3 - 4 jam. Jalur pendakian dari Tretes sampai Gunung Welirang merupakan jalan berbatu yang tertata rapi , tetapi merupakan siksaan tersendiri untuk perjalanan turun.
Dari Puncak Gunung Welirang, yang ditandai dengan batu besar, kita bisa menyaksikan pemandangan menarik kearah Selekta, Tretes dan kaki-kaki langit di Selat Madura. Di bawah puncak Gunung Welirang ada dua kawah berwarna kekuningan yang menyemburkan gas beler\nang; Kawah Jero yang besar dan lebih dalam dan Kawah Plupuh. Bijih belerang di Kawah Jero inilah yang ditambang secara tradisional. Bila kemalaman kita bisa berteduh di gua-gua disekitar Puncak. Bagi yang tidak tahan aroma belerang sebaiknya tidak berlama-lama berada disekitar Puncak dan kawah, karena akan menyebabkan pening. Perlu waktu 3 - 4 jam untuk turun ke Tretes dari Puncak G. Welirang.
camp welirang
Bila kita akan melanjutkan perjalanan menuju Gunung Arjuno, dari Puncak Gunung Welirang kita berjalan turun ke arah Selatan, dan melalui hutan cemara dengan melewati satu jurang dan lembah Gunung Kembar I dan Gunung Kembar II, dimana kita dapat jumpai beberapa lubang sumur (luweng) didekat jalur, yang sering digunakan untuk menjebak Rusa. Selanjutnya kita akan melalui Sawahan Bakal (2.626 m.dpl), berupa padang rumput dimana sering dijumpai Rusa dan Kijang.
Setelah berjalan 5 - 6 jam, kita akan sampai di puncak tempat yang dinamakan Pasar Dieng, yang ketinggiannya hampir sama dengan puncak Gunung Arjuno, dimana terdapat batu-batu yang sebagian tersusun rapi seperti pagar dan tanahnya rata agak luas. Perlu 30 menit perjalanan melewati satu puncak lagi, sebelum kita sampai di Puncak G. Arjuno yang ditandai dengan batu-batu besar.
Puncak Gunung Arjuno anginnya sangat kencang dan suhunya antara 5 - 10 derajat. Di sini kita dapat menikmati panorama yang sangat indah terutama bila malam hari, kita dapat melihat ke bawah kota-kota seperti Surabaya, Malang, Batu, Pasuruan, serta Laut Jawa dengan kerlipan lampu-lampu kapal, juga Puncak Gunung Semeru dan semburan asapnya. Puncak Gunung Arjuno disebut juga dengan "Puncak Ogal-agil"�. Setelah berkemah di puncak, besok paginya kita dapat turun ke kota Lawang ke arah Timur dengan melewati hutan cemara, hutan tropis dan perdu, setelah itu kita akan melewati Perkebunan Teh Wonosari bagian Utara. Turun ke arah Lawang lebih dekat dan menyingkat waktu, daripada kembali ke arah Gunung Welirang/Tretes. Perjalanan turun ke arah Lawang kurang lebih 6 jam.

Jalur Timur, Lawang

Mendaki Gunung Arjuno dari kota Lawang merupakan awal pendakian yang praktis karena kota Lawang mudah sekali kita tempuh baik dari arah Surabaya maupun Malang, selain itu Puncak Gunung Arjuno dapat langsung kita capai dari arah ini.
Dari arah Surabaya kita naik bis jurusan Malang dan turun di Lawang (76 km). Bila kita dari Malang, maka kita naik dari Terminal Arjosari dengan menggunakan bis atau minibis menuju Lawang, jaraknya 18 km. Dari Lawang kita naik kendaraan umum (angkutan pedesaan) menuju desa Wonorejo sejauh 13 km. Pendakian ke puncak, dimulai dari desa ini menuju ke Perkebunan Teh Wonosari sejauh 3 km. Di sini kita melapor pada petugas PHPA dan juga meminta ijin pendakian, persediaan air kita persiapkan juga di desa terakhir ini.
Dari desa Wonosari terus berjalan dan melewati Perkebunan Teh Wonosari serta terus naik selama 3 - 4 jam perjalanan kita akan sampai di Oro-Oro Ombo yang merupakan tempat berkemah. Dari Oro-oro Ombo menuju ke puncak dibutuhkan waktu 6 - 7 jam perjalanan dengan melewati hutan lebat yang disebut Hutan Lali Jiwo. Dari sini kita akan melalui padang rumput yang jalannya menanjak dan curam sekali. Mendekati puncak, kita akan berjalan melewati batu-batu yang sangat banyak dan menyerupai taman yang sangat indah, setelah itu kita akan mencapai puncak Arjuno.

Dari arah Barat, Sumber Brantas-Batu

arjunoJalur pendakian dari arah Batu, yang terletak di sebelah barat Gunung Welirang, juga merupakan jalur yang menarik dan menyenangkan. Kota Batu, keadaannya tidak berbeda jauh dengan Tretes, merupakan kota wisata memiliki panorma yang menarik, dengan berbagai fasilitasnya. Batu, disebut juga Kota Apel, dan mendapat julukan Swiss-nya Jawa, terletak dilembah Gunung Panderman dan lereng Gunung Arjuno, memiliki kawasan wisata dengan sumber air hangat di Songgoriti. Untuk menuju Batu dari arah Kediri atau Malang kita dapat naik bis/colt, selanjutnya dilanjutkan dengan minibus dari Batu menuju Desa Sumber Brantas lewat Selecta.
Kita bisa berhenti di Selecta, yang juga merupakan kawasan wisata yang ternama, terletak pada ketinggian 1.200 m.dpl, hawanya sejuk dan tersedia sarana wisata yang menyenangkan, kolam renang dan taman bunga, juga pasar buah dan sayur segar. Di Selecta, banyak tersedia hotel maupun losmen dimana kita dapat bermalam. Fasilitas telpun terakhir ada di Selecta ini.
Di Desa Sumber Brantas (1.600 mdpl) terdapat mata air yang merupakan sumber dari Sungai Brantas yang mengalir ratusan kilometer, yang merupakan darah bagi lahan pertanian di Jawa Timur. Di mata air ini kita harus menyiapkan air secukupnya untuk perjalanan ke puncak dan kembalinya. Dari Sumber Brantas, mengikuti jalan aspal kearah Pacet -Mojokerto sejauh 8 km, kita akan sampai di Cangar yang merupakan kawasan Taman Hutan Rakyat Suryo� yang sedang dikembangkan fasilitasnya, untuk menikmati mandi air panas alami dari kaki Gunung Welirang.
Di Desa Sumber Brantas kendaraan umum biasanya menurunkan kita di Pos KSDA, tetapi kita bisa minta turun (dengan perjanjian) di ujung desa. Sebelum pendakian, kita harus mendaftar kepada Petugas KSDA. Dari ujung desa, kita memulai pendakian selama 2 jam, dengan melewati jalan berbatu yang menanjak dan ladang sayuran ke arah Timur Laut, sampai ke tepi Hutan Lali Jiwo sebelah barat. Dalam perjalanan ini, samar-samar akan terlihat puncak Arjuno. Untuk menyingkat waktu, kita bisa juga menyewa Jeep di desa Sumber Brantas ini, untuk mengantarkan kita sampai akhir kebun sayur di tepi hutan.
Setelah pendakian 4 jam lagi melintasi hutan tropika yang lebat Lali Jiwo, kita akan sampai di punggungan gunung yang menghubungkan puncak Gunung Welirang dan Gunung Arjuno, tepatnya sebelah Tenggara Gunung Kembar I. Disini terdapat persimpangan, kearah kiri untuk menuju puncak Gunung Welirang selama 2-3 jam dan ke arah kanan menuju Gunung Arjuno selama 4 - 5 jam.
Perjalanan mendekati Puncak Gunung Welirang dilereng sebelah barat, kita akan dapat menyaksikan padang Bunga Edelweis dan Mentigi yang berdaun kemerah-merahan, pemandangan yang menarik in tak akan dijumpai di jalur lain. Di sepanjang perjalanan kita akan sering menjumpai Rusa, Kijang, Tupai Terbang , Lutung juga Burung-burung yang terlihat jinak.
Di Hutan Lali Jiwo (Lali=Lupa, Jiwo=Jiwa/Pikiran), kita harus hati-hati karena mudah tersesat, dan ada pantangan bahwa kita tidak boleh membicarakan sesuatu yang tidak sopan atau bersikap sombong.

Kegiatan2 GEMPA